UPACARA ADAT RAMBU SOLO , SULAWESI
Upacara Adat Rambu Solo
sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian, karena orang yang meninggal
baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini
lengkapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai
orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang
hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan
minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap Upacara Adat Rambu Solo
ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi
arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo),
arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa
pelindung (deata). Upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga
dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk
pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang
meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau
disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga
bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan
warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. Dulu,
upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring
dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada
keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan
kemampanan ekonomi.
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang dilaksanakan
di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa
rangkaian ritual , seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan, mebalun),
pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto),
penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan
proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Rangkaian Upacara ini , juga terdapat berbagai atrakasi budaya yang
dipertontonkan, di antaranya: Adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau
yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan Adu kaki
(sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa musik tradional,
seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta beberapa tarian, seperti
pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan, passailo dan
pa‘pasilaga tedong.
Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik dan merupakan
ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas leher kerbau hanya dengan sekali
tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau
bule (tedong bonga) yang harganya cukup mahal sampai dengan 50 juta perekor
(2009). Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu
ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya,
dari kejauhan tampak kain merah panjang bagaikan selendang raksasa membentang
di antara pelayat tersebut.
Upacara
Rante
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang dilaksanakan
di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa
rangkaian ritual , seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan, mebalun),
pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto),
penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan
proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Rangkaian
Upacara ini , juga terdapat berbagai atrakasi budaya yang dipertontonkan, di
antaranya: Adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan
diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan Adu kaki (sisemba). Dalam upacara
tersebut juga dipentaskan beberapa musik tradional, seperti pa‘pompan,
pa‘dali-dali dan unnosong; serta beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi,
pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan, passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya
lagi, kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik dan merupakan ciri khas
mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan.
Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong
bonga) yang harganya cukup mahal sampai dengan 50 juta perekor (2009). Selain
itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika
iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari
kejauhan tampak kain merah panjang bagaikan selendang raksasa membentang di
antara pelayat tersebut.
Comments
Post a Comment